“ Wah.. kalau kau terus kerja
disini, saya akan kaya raya! “ suara berat memenuhi ruangan tersebut. Pemilik
suara itu jelas sedang senang. Sambil menepuk pundak pemuda di depannya denga
bangga, dia terus mengisap rokoknya.
“ Hm, bayaran saya mana mas?” Fahri, pemuda itu berseru cepat.
“ Yah! Bayaran kau kan akhir minggu ini saya kasih, masa lupa?” Mas Garsa
membalas cepat. Fahri terdiam.
“ Tapi gaji saya yang minggu kemaren belum mas kasih..”
“ Alaaah..udah! kau yang lupa! Waktu itu kan saya kasih waktu kita lagi main
domino di rumah Usep”
Fahri menggeleng kencang. Dia yakin sekali kalau dia belum menerima apapun yang
berjenis uang.
“ Mas Garsa yang lupa! Jelas-jelas saya lihat mas Cuma mabuk-mabukan semalaman!
Saya ngga ada nerima yang namanya uang mas” suara Fahri mulai meninggi. Belum
selesai Fahri ingin melanjutkan bantahannya, Mas Garsa sudah berdiri dengan
tampang garang.
“ Jadi..kamu mau apa? Hah?”
“ Saya hanya ingin gaji saya, bukan..tapi uang saya” Fahri memperjelas
kata ‘uang’ dalam kalimatnya. Mas Garsa terlihat tenang, tapi Fahri tau dia
sedang sangat dongkol dengannya.
“ Heh, uangmu? Oke, oke, kau ingin ‘UANG’ mu? Akan saya berikan tapi kau harus
menjual setumpuk lagi disana, baru saya akan berikan sekaligus dengan minggu
ini, bagaimana?”
Fahri mendengus. Itu negoisasi yang menyebalkan.
“ Tidak”, Fahri membantah tegas, “ Saya hanya ingin gaji saya yang kemarin.
Saya tidak akan tertipu oleh pola pikir orang-orang seperti Mas Garsa. Cara
kalian berbisnis, memperganda uang, menyuap bea cukai, kalian bersembunyi di
balik topeng-topeng pejabat yang berkhianat, saya tau semuanya” Fahri
mengepalkan tangannya. Dia membenci orang-orang seperti mereka, tapi Fahri
dengan bodohnya mau mengikuti mereka.
“ Kau berceramah padaku ya?” Mas Garsa berkata pendek, menahan emosinya
dalam-dalam.
Tidak ada jawaban, berarti iya.
“ Raj! Kemari kau!” beberapa saat kemudian, seseorang masuk. Fahri mengenal
Raj, dia pengedar sekaligus pengguna paling mengerikan disini. Wajah Indianya
kontras sekali dengan kulit terbakar dan badan kekarnya. Bau alkohol menyeruak
saat dia masuk. Mas Garsa mengambilnya saat dia menemui rekan kerjanya disana.
Raj, masa lalu kelam dan penuh riwayat kriminal. Dia sering bermain dengan
pistol dan senjata tajam. Bisa dibilang, dia penjagal. Tapi dia tak lebih dari
tikus kecil di tangan Mas Garsa.
Mas Garsa membuang asap rokoknya pelan. Telunjuknya bergerak isyarat Raj
disuruh mendekat. Mata Mas Garsa melirik sesaat pada Fahri.
Ada yang tidak beres, pikir Fahri.
Mas Garsa berbisik pelan pada Raj, diikuti anggukan pelan dari Raj. Fahri
merasa napasnya tertahan, keringat mengucur deras di pelipisnya.
“ you, follow me” Raj berkata dingin dengan bahasa inggrisnya yang kaku.
“ Kau berkeringat, Fahri. Ikuti saja, dia akan memberimu uang” terlihat senyum
yang ganjil dari wajah Mas Garsa.
Tanpa
sadar Fahri menelan ludah.
Raj
membawa Fahri ke brankas utama Mas Garsa. Langkah mereka lambat menyusuri
lorong brankas yang baunya seperti tumpukan kertas lama. Raj baru berhenti saat
tiba di ruangan gelap kusam yang hanya ada satu meja didalamnya.
“
You want money. Isn’t it?”
Fahri
diam saja.
“
In that table. And you’ll find it” suara Raj berdengung di ruangan
tersebut, terdengar tidak meyakinkan. Tapi dengan langkah pelan Fahri mengikuti
perintah Raj.
“
Here?” Fahri berseru pendek. Mulai merasa aneh. Tapi Raj tak menunjukkan
reaksi apapun disampingnya. Fahri mengusap dahi, keringat mengalir pelan di
dahinya. Waktu bergulir lama seolah dapat menjadi pedang yang akan menghujam
kapanpun.
Saat
laci terkahir, Fahri menghentikan gerakan tangannya.
“
I’m sorry, I can’t find..” mendadak, gerakan tangan Raj dengan cepat
memelintir tangannya. Fahri mengaduh kesakitan. Diikuti tendangan yang dalam
beberapa detik sudah merobohkan badan Fahri. Belum habis, Raj mengeluarkan
‘mainannya’, pistol berkaliber ’30 itu mengarah tepat ke punggungnya.
“
say goodbye, Fahri”
DOR!!
Fahri
terkulai, badannya menabrak lantai. Bau amis menyeruak di hidungnya.
“
Hah..huh..hah..” napasnya mulai tersengal.
Dalam
kesadarannya yang mulai mengawang, Fahri melihat sosok Mas Garsa yang tersenyum
angkuh kepadanya. Tangannya menjatuhkan seamplop uang dengan kasar. Lantas
berjongkok sambil menghembuskan asap rokoknya di wajah Fahri. Mengatakan satu
kalimat yang tak akan terlupakan oleh Fahri.
“
Kau memang pintar,Fahri. Tapi kau melupakan satu hal penting. Bahwa, bagi orang
sepertiku, uang lebih penting daripada nyawa”
Selesai
sudah.
Fahri
bahkan tidak bisa berkutik hanya untuk sekedar menyumpahi sosok Mas Garsa. Dia
mengaduh pelan. Tiba-tiba, wajah adiknya membayangi matanya, Haya.
‘
Haya nggak nyalahin abang buat nyari uang! Haya cuma GAK MAU ABANG
KESANA! HAYA CUMA GAK MAU ABANG SUSAH NANTI!”
Dada
Fahri mulai sesak, oksigen terasa menguap disekitarnya. Rahangnya mengatup
kencang, menahan air mata yang mulai berdesakkan keluar.
Tak
lama, Fahri sudah terisak pelan.
“
Haya…”
“
Masih banyak pekerjaan lain, bang..”
Bayangan
wjah Haya yang tertunduk sedih sempurna membuat tangis Fahri pecah.
Perasaannya
bercampur aduk. Perasaan bersalah, ayah dan ibu, kematian. Segalanya.
Bahu
Fahri berguncang hebat. Menangis sejadi-jadinya. Seiring dengan napasnya yang
mulai tersengal, sebuah kalimat pelan berhembus lemah dari bibirnya. Bercampur
dengan deru napas dan genangan air mata.
“
Astaghfirullah..”
No comments:
Post a Comment